Dear tubuh, tahukah engkau jika tubuhmu ini tak selamanya bisa berdiri? Tak selamanya bisa sehat dan tak selamanya bisa berdiri kokoh dimuka bumi ini? Suatu saat nanti, entah itu 10, 20, 30 tahun kedepan apakah tubuh masih seperti semula? Kuat, kekar, menawan, dan sehat? Ingat, semuanya tak ada yang abadi, pasti semuanya akan ada yang namanya perubahan.

Dear diriku, ingatkah engkau ketika masa kecilmu yang sangat menyenangkan? Bukankah sudah lama itu menjadi memorimu yang tersimpan rapi untuk sewaktu-waktu engkau bisa memutarnya kembali. Masa-masa yang takkan terulang kembali dan masa-masa yang belum memiliki beban, masa yang hanya terisi oleh kesenangan, kebahagiaan, bermain bersama teman-teman, dan masa terindah dalam hidupku.

Ingatkah engkau diriku? Ketika engkau masih duduk dibangku sekolah dulu? Di situ banyak sekali kenangan yang tak terlupakan, dan dari situlah kamu bisa belajar pendewasaan dan juga arti kehidupan yang seseungguhnya.

Dan ingat kah engkau kepada orangtuamu? Mereka yang telah membesarkanmu, merawatmu dengan ikhlas? Ingatkah engkau diriku ketika Ibumu mengiringi hidupmu dengan kasih tulusnya? Ibu yang mengajarimu makna kasih sayang sesungguhnya. Ibu yang selalu mengkhawatirkan dirimu tatkala engkau pergi sampai-sampai kegelisahan menahan kantuknya di malam hari.

Atau, Ingatkah engkau diriku ketika ayahmu bekerja terlalu keras hanya untuk membuatmu berdiri? Ayah yang diam-diam sering menyebut dan membanggakan namamu? Ayah yang selalu terlihat tegar dihadapan kita padahal dalam hati mungkin saja dia menangis, mengeluh kecapean.

Tapi pernahkah wahai diriku melihat ayahmu menangis di depanmu? Pernahkah engkau melihat ayahmu mengeluh? Tidak bukan? Wahai diriku, apakah kamu masih ingat bahwa ayahmu adalah teladan yang mengajarimu bagaimana caranya bertahan dan terus melaju di tengah kerasnya hidup?

Tapi wahai diriku kenapa engkau masih sering mengeluh, masih sering marah-marah, masih sering kesal? Bukankah engkau harusnya meminta maaf, berterima kasih, memeluk, mencium, bahkan mengatakan sayang pun kamu belum berani bukan, wahai diriku?

Wahai diriku, tak selamanya hidup seseorang abadi, semuanya pasti akan kembali kepada yang telah menciptakanya maka dari itu, janganlah engkau menyia-nyiakan hidupmu, dan jadilah dirimu yang bermanfaat untuk agamamu, orang tuamu, teman-temanmu dan orang-orang yang membutuhkanmu.

Ketika engkau mulai mengeluh, ingatlah dimana kamu berdiri, dan dari apa kamu bisa berdiri hingga sampai saat ini, bukankah itu semua atas ikut campur kedua orangtuamu, teman-temanmu, dan juga yang maha pencipta, semuanya ikut terlibat dalam pembuatan alur hidupmu.

Tapi di sinilah kamu berperan, engkau memiliki dua pilihan yaitu engkau ingin bangkit atau diam saja, semua pilihan terletak dari hatimu. Jika hati sudah berkata, maka semuanya pasti akan berjalan meski kadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Engkau menyadari wahai diriku. Engkau telah banyak melewatkan hari-harimu dan mengabaikan apa yang sudah didepan matamu, menjadikan kebanyakan hari-harimu tidak berguna dan tidak bermakna. Wahai diriku mungkin engkau akan menyesali dikemudian hari atas apa saja yang telah engkau lakukan, tapi ingat wahai diriku jika kita sudah menyesal maka perbaikan itu tidak semudah engkau mengatakan menyesal.

Bahkan saat inipun engkau sudah merasa banyak waktu yang engkau buang secara sia-sia, bukankah engkau menyesalinya sekarang? ya, pasti itu jawabanmu. Tapi apa yang bisa engkau lakukan untuk mengembalikan waktu yang telah engkau buang secara sia-sia itu, dan jawabanya engkau sudah tahu.
Wahai diriku waktu yang telah berlalu tidak akan bisa kita kembalikan lagi, karena waktu terus saja berjalan maju, takkan berjalan mundur. Maka dari itu mulailah hari ini, menit ini, detik ini, tahun ini, untuk belajar dari waktu yang telah engkau sia-siakan dan tidak mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya.

Jika hidupmu masih panjang dan Tuhan menghendaki mungkin engkau masih bisa merasakan keindahan bumi ini sampai 50 tahun mendatang. Dan buatlah dengan sisa hidupmu yang entah sampai kapan menjadi lebih bermanfaat dan bermakna. 

Wahai diriku dimasa yang akan datang, ingatlah bahwa kehidupan setelah kematian itu nyata adanya. Semua pertanggung jawaban juga ada waktunya. Engkau tidak boleh lupa wahai diriku mengenai perkara ini. Iringilah setiap episode kehidupanmu dengan kesuksesan dunia dan kesuksesan akhirat.

Lalu wahai diriku dimasa yang akan datang, tetap wujudkanlah semua mimpimu, dan teruslah berjuang untuk hal-hal yang lebih baik. Aku tahu wahai diriku jika engkau memiliki segudang mimpi yang selalu terbayang disetiap langkahmu, aku tahu jika engkau sangat menginginkanya meski kala itu engkau belum bisa mewujudkanya.

Maka dari itu wujudkanlah semua mimpi-mimpimu entah itu mimpi terbesarmu atau mimpi terkecilmu. Dan buatlah kedua orangtuamu tersenyum bangga dengan apa yang kamu hasilkan sebagai balasan atas kasih sayang mereka yang tak terhingga, lalu buatlah orang-orang dekatmu, teman-temanmu dan orang sekitarmu ikut merengkuh kebahagiaan bersamamu.

Wahai diriku dimasa yang akan datang semuanya pasti berubah, tidak ada yang sama. Mungkin saja dimasa yang akan datang engkau akan menemui rintangan yang lebih besar lagi, yang akan membuatmu mengeluh, lelah, bahkan menangis, tapi diriku, engkau lagi-lagi harus mengingat perjuanganmu selama ini dan tak tertinggal selalu mengingat senyum kedua orangtuamu serta dukungan dari orang-orang terkasihmu.

Karena ketika kita menghadapi masalah sebesar apapun ketika kita merenungkan perjalanan hidup kita sampai saat ini pasti engkau akan mempunyai semangat lagi. Dan janganlah engkau melupakan kenangan-kenangan dimasa lalu mu entah itu kenangan sedih, senang,kesal, bahkan marah sekalipun karena dari semua kejadian itu terkadung sebuah makna tersendiri jika engkau menyadarinya.

Wahai diriku, jika engkau sudah mencapai semua mimpi-mimpi yang engkau inginkan, jangan jadikan sebuah kebanggaan itu menjadikan dirimu bukanlah dirimu lagi. Seberapa engkau nantinya akan sukses jangan pernah menjadikan kesuksesanmu itu merubah dirimu, karena semua yang engkau miliki tak ada yang abadi dimuka bumi ini. seperti halnya dengan matahari.

Matahari seperti menggambarkan kehidupan kita, saat dia baru bangun dia pasti akan merasakan hidup dibawah terlebih dahulu, dan ketika menjelang siang maka matahari akan berada di atas, tapi ketika menjelang sore tiba atau malam akan datang, matahari akan turun menjadikan semuanya gelap dan seterusnya seperti itu.

Hiduplah kita seperti hujan yang memiliki begitu manfaat untuk semuanya. Mengubah tanah tandus menjadi subur, merubah tumbuhan kering menjadi hijau tumbuh segar, menjadikan manusia bertahan hidup, dan masih banyak lagi kemanfaatan air hujan yang di hujaninya. Dan selalu merenungkan semua yang pernah kita jalani agar kita setidaknya tahu satu kesalahan kita agar bisa diperbaiki dikemudian harinya nanti. Teruslah berjuang dan tersenyum sebagai tanda engkau takkan pernah menyerah wahai diriku.

Wahai diriku jadilah dirimu apa adanya. Dan jadikan poin tersendiri bahwa kamu tidak akan pernah berubah menjadi lebih buruk, berubahlah menjadi dirimu yang jauh lebih baik. Jangan lupakan senyuman menyertai hari-harimu, dan tanamkan semua rasa syukurmu.

Tetaplah menaiki tangga kehidupan wahai diriku sampai akhirnya engkau menemui titik terakhirmu. Salam semangat wahai diriku :)

~ Adam Rifa'i ~



     Aku akan sedikit mencerikatan sepenggal cerita terbaikku. Sedih berjuta sedih, pada akhirnya perjalanan di“bengkel” dan “lumbung” ilmu ini harus berakhir. Menyisakan memori indah yang akan terus membekas sampai akhir hayat. Cerita yang terajut bak kain sutera yang halus nan indah. Alunan dawai kisah yang tak akan ada bosannya untuk terus diperdengarkan. Simfoni yang kan terus menari dalam relung-relung hati. Sepenggal episode yang mengisi hidup dan tak bisa ku ungkapkan kecuali dengan kata “wonderful”.. ah kata wonderful juga masih belum bisa menggambarkannya bagiku.        

     Rumah i
ni adalah tempat terbaik bagi engkau yang haus mengejar prestasi akademik,engkau yang tertarik prestasi non-akademik atau untuk engkau pula yang ingin memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik. Tempat ini serasa seperti “oase” di tengah padang gurun yang panas nan gersang. Engkau yang tak pernah meminum dari oase ini tentu akan mengatakan betapa anehnya rasa air disini. Engkau juga akan mengatakan betapa anehnya penghuni rumah ini, mungkin pula kan mengira seperti sekumpulan koloni alien yang berada pada satu tempat.. Aku katakan kalian semua salah kawan. 

     Aku katakan salah, sebab jikalau kalian sempat singgah di “bengkel” ini kalian akan mengerti siapa kalian dan apa tujuan hidup kalian. Apabila kalian rusak parah sekalipun “bengkel” ini akan siap menyambutmu dengan senyum para mekanik yang handal..ah aku yang bodoh ini sungguh telat mengerti. Tempat dimana tersesat dirasa begitu nikmat sebab engkau “tersesat di jalan yang benar”. Di “lumbung” ilmu ini engkau akan menemukan sahabat-sahabat terbaikmu yang berilmu lagi tulus  bersama-sama dalam meraih sukses dunia dan akhirat. Sungguh oase ini memberikan corak warna indah pada kehidupan setiap musafir yang pernah menyinggahinya tak terkecuali diriku.

       Qolbuku mengharu biru tatkala bunga mawar yang harum semerbak nan indah ini akhirnya layu dan pupus jua, pertanda si kumbang tak bisa lagi menghinggapinya. Sekarang hanya piringan hitam itulah yang bisa kubuka selembar demi selembar dengan sedikit bauran imaji dari kejauhan untuk menghilangkan dahaga sang musafir ini, dahaga tentang ketulusan, kebaikan, dan ilmu-ilmu kalian. Ah bodohnya aku.. kemana aku selama ini?.. ah bodohnya aku. Sekali-kali aku terbuai dalam lamunan “jikalau”, “seharusnya” dan “seandainya”, but time goes flies.                                                  

       Akupun sejenak merenungkan betapa berharganya mutiara-mutiara yang telah ku dapat. Mutiara itu adalah ilmu dan sahabat yang telah tulus memperbaiki seonggok besi karatan ini menjadi logam yang lebih bernilai. Hal yang bisa dilakukan manusia bodoh ini hanyalah sebisa mungkin menjaga serta mendoakan dalam setiap pinta agar mutiara-mutiara itu tidak hilang dan berusaha membersihkannya sebagaimana ketulusan uluran tangan mereka dahulu. Ah betapa bodohnya aku ini.. ah betapa bodohnya…                                                                                                                

Dear
Sahabat dan orang-orang yang menghiasi kisahku

Penulis : Monsieur Mevrow
15 / 7 / 2016



Money can’t buy happiness. Begitu sebuah kata mutiara pernah terdengar. Apakah memang demikian adanya?

Tulisan kali mencoba menjelajah hasil studi saintifik yang mengulik relasi rumit antara uang dan kebahagiaan. Dan seperti yang sebentar lagi akan kita baca, hasilnya menyodorkan jawaban yang mengejutkan.

Kebahagiaan adalah sebuah tema penting dalam hidup. Uang juga merupakan elemen krusial dalam kehidupan. Maka mari di pagi yang cerah ini kita telusuri dua tema penting ini : uang dan kebahagiaan.

Studi empirik yang mencoba melacak korelasi uang dan kebahagiaan sejatinya telah banyak dilakukan. Salah satunya yang terkenal, dilakukan oleh Daniel Kahneman, pakar ilmu “financial psychology” yang juga pemenang nobel ekonomi 2002.

Dalam risetnya itu ia menemukan fakta yang dikenal dengan istilah : income threshold. Inilah titik batas income yang akan menentukan apakah uang masih berdampak pada kebahagiaan atau tidak. Sebelum income menembus titik threshold itu, maka uang punya peran signifikan dalam menentukan kebahagiaan. Namun begitu income sudah menembus batas threshold itu, maka uang tidak lagi punya makna dalam menentukan kebahagiaan. 

Lalu berapa titik income threshold itu? Dalam kajiannya yang melibatkan ribuan responden di USA, angka batas income itu adalah USD 6000 per bulan. (Dengan mempertimbangkan perbedaan biaya hidup, mungkin angka USD 6000 itu ekivalen dengan angka Rp 15 – 20 juta per bulan, jika diubah dalam konteks Indonesia).

Penelitinya menulis : sebelum income menembus angka USD 6000 per bulan, uang punya peran besar dalam menentukan level kebahagiaan seseorang. Faktanya, beragam studi lain menyebut bahwa kondisi finansial yang terbatas merupakan salah satu pemicu utama stress dan depresi.

Namun, begitu income responden melampaui USD 6000, maka peran uang dalam membentuk kebahagiaan makin pudar dan pelan-pelan lenyap.

Artinya, orang dengan income USD 6500 misalnya akan memiliki level kebahagiaan yang tidak berbeda dengan orang dengan income USD 60.000 per bulan atau bahkan USD 6 juta per bulan. Dalam konteks itulah benar jika ada yang menyebut : semakin kaya Anda, belum tentu makin bahagia. Studi Kahneman menegaskan : makin tinggi income Anda, ternyata justru makin menurunkan peran variabel uang dalam menentukan kebahagiaan.

Pertanyaannya : kenapa makin tinggi income seseorang, ternyata makin menurunkan peran uang dalam membentuk kebahagiaan?

Kajian-kajian dalam ilmu financial psychology menemukan jawabannya, yang kemudian dikenal dengan nama “hedonic treadmill”. Gampangnya hedonic treadmill ini adalah seperti ini : saat gajimu 5 juta, semuanya habis. Saat gajimu naik 30 juta per bulan, eh semua habis juga. 

Kenapa begitu? Karena ekspektasi dan gaya hidupmu pasti ikut naik, sejalan dengan kenaikan penghasilanmu.

Dengan kata lain, nafsumu untuk membeli materi/barang mewah akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan income-me. Itulah kenapa disebut hedonic treadmill : seperti berjalan diatas treadmill, kebahagiaanmu tidak maju-maju. Sebab nafsu-mu akan materi tidak akan pernah terpuaskan. Saat income 10 juta/bulan, naik Avanza. Saat income 50 juta/bulan naik Alphard. Ini mungkin salah satu contoh sempurna tentang jebakan hedonic treadmill. 

Hedonic treadmill membuat ekspektasimu akan materi terus meningkat. Itulah kenapa kebahagiaanmu stagnan, meski income makin tinggi. Sebab harapanmu akan penguasaan materi juga terus meningkat sejalan kenaikan income-mu.

Ada eksperimen menarik : seorang pemenang undian berhadiah senilai Rp 5 milyar dilacak kebahagiaannya 6 bulan setelah ia mendapat hadiah. Apa yang terjadi ? Enam bulan setelah menang hadiah 5 milyar, level kebahagaiaan orang itu SAMA dengan sebelum ia menang undian berhadiah. Itulah efek hedonic treadmill : karena nafsumu terus meningkat, kebahagiaanmu seolah berjalan di tempat, meski income melompat 10 kali lipat. Atau bahkan dapat hadiah 5 milyar. Jadi apa yang harus dilakukan agar kita terhindar dari jebakan hedonic treadmill? Lolos dari jebakan nafsu materi yang tidak pernah berhenti?

Disinilah relevan untuk terus mempraktekan gaya hidup yang minimalis yang bersahaja ( qona’ah ) : sekeping gaya hidup yang tidak silau dengan gemerlap kemewahan materi.

Prinsip hedonic treadmill adalah : more is better. Makin banyak materi yang kamu miliki makin bagus. Jebakan nafsu yang terus membuai. Makin banyak mobil yang kamu miliki, makin bagus. Makin banyak properti yang kamu beli makin tajir. Godaan nafsu kemewahan yang terus berkibar-kibar.

Gaya hidup minimalis punya prinsip yang berkebalikan : less is more. Makin sedikit kemewahan materi yang kamu miliki, makin indah dunia ini. Gaya hidup minimalis yang bersahaja punya prinsip : hidup akan lebih bermakna jika kita hidup secukupnya. When enough is enough.

Prinsip hidup bersahaja, yang tidak silau dengan kemewahan materi, justru akan membawa kita pada kebahagiaan hakiki.

Dalam istilah islam kita kenal dengan ” zuhud ” yaitu meletakkan materi duniawi pada tempatnya, sedikit atau banyaknya materi yang dimiliki tidak mengganggu ketaatan kepada Allah dan tidak merubah sikap sederhana dalam prinsip hidup bersahaja (boleh saja income dan materi terus bertambah, tetapi sikap dan gaya hidup tidak boleh berubah)

Sebab pada akhirnya, bahagia itu sederhana. Acapkali kita terlalu jauh mencari kebahagiaan yang mana sebenarnya hal tersebut sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, karena mindset kita yang selalu mengabaikannya atau bahkan memandang rendah nilai kebahagiaannya, maka yang banyak terjadi hanyalah sebuah pengejaran kebahagiaan semu. 

Maka seharusnya kita patut bertanya pada diri kita, seberapa sadarkah kita selama ini dalam menghargai, memaksimalkan dan bersyukur terhadap apa yang kita punyai sekarang?
 
Selamat menemukan kebahagiaan yang bersahaja.

Penulis : Rheynald Kasali ; Mevrow


Degradasi kebaikan seakan telah menjadi suatu penyakit kronis yang sulit ditemukan obatnya. Kebaikan menjadi suatu komoditas yang langka untuk diperdagangkan. Nilai kebaikan menjadi sesuatu yang amat mahal dan sakral sehingga menarik para pendusta untuk mengklaim kebaikan semu yang berbalut kepalsuan. Kebaikan-kebaikan semu inilah yang sekarang menjadi sebuah realitas yang diterima oleh masyarakat awam.

 Pengalaman dan penghayatan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan moral kebaikan pelan-pelan mulai dilupakan. Ritus – ritus keagamaan yang seyogyanya menjadi jembatan  eksistensialnya manusia dalam kebaikan seakan  telah menjadi seremonial tanpa membuahkan ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah. Adanya ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah akan menjadikan manusia memiliki kesalehan ritual (Iman) dan kesalehan sosial (akhlak). Inilah kedahsyatan spiritualitas yang menggembleng manusia untuk menjadi asketis, memiliki ketajaman akal-budi,taat,dan takwa, sekaligus kesadaran untuk berempati, berbagi serta peduli atas sesama (the others).

Pencapaian transedental inilah yang layak dijadikan renungan secara kolektif sekaligus menjadi modal dasar atas praksis kehidupan. Sehingga kita tak hanya asyik dengan ritus melainkan juga bisa lulus untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran, kebaikan dan keindahan merupakan nilai-nilai yang selalu rentan untuk tenggelam atau ditenggelamkan dalam hiruk-pikuk kehidupan yang cenderung mengejar materi, kekuasaan dan kefanaan lainnya. Liberalisme, kuasa kapital dan konsumerisme yang mendominasi negeri ini, telah mendidik masyarakat untuk menjadi hedonis (pengejar kenikmatan duniawi) dengan jalan apapun, termasuk penyalahgunaan amanah. Ukuran nilai keutamaan pun bergeser dari akal sehat. Kebenaran tidak lagi didasarkan pada logika,hati nurani dan spiritualitas, melainkan pada kepentingan sesaat yang cenderung sesaat. Maka, tak heran jika yang menguat bukanlah kebenaran tetapi pembenaran.

Begitu juga dengan ukuran kebaikan, bukan lagi didasarkan pada kepantasan, kewajaran dan etika, melainkan pada keinginan dan kesenangan belaka. Akibatnya, Orang gagal menemukan kebaikan melainkan justru keburukan yang dipermak menjadi  (seolah-olah) kebaikan, orang mulai malas mengeksplorasi potensi-potensi dalam dirinya. Hakikat manusia sebagai homo estetikus telah mulai bergeser menjadi makhluk yang menyukai vulgarisme. Lihatlah perilaku masyarakat yang kini cenderung norak di dalam mengekspresikan diri maupun memperjuangkan agenda kepentingannya yang terkesan egois dan hanya mengekor pada hawa nafsu.

Tantangan terbesar dalam zaman yang menyembah pragmatism dan hedonism adalah bukan hanya menjadi orang baik (secara personal,ritual). Melainkan juga menjadi manusia yang memiliki integritas, komitmen, dedikasi,kapabilitas yang berasaskan spiritualitas (Illahiyah) dan berorientasi sosio-kultur untuk membangun nilai-nilai peradaban. Ke dalam diri kita, kita harus bersikap ‘secukupnya’ dalam soal pemilikan materi. Kita perlu mengenali batasan kepemilikan atas dasar kesadaran etik,moral dan norma. Bukan justru menjadi makhluk yang menyembah berhala materi. Problem manusia saat ini antara lain adalah pada hilangnya ‘rasa cukup’, ketulusan dan rendah hati, sehingga mereka ‘terbutakan’ dan saling berlomba-lomba untuk kemaruk, saling menjatuhkan serta saling merendahkan baik dalam soal materi, kekuasaan, intelektualitas maupun segala bentuk kenikmatan fana lainnya.

Hawa nafsu yang menodai spiritualitas (Illahiyah) termanifestasikan dalam sifat kemaruk, ketidak tulusan dan kesombongan. Sifat tersebut adalah kegelapan yang menabiri pandangan hati nurani, logika dan akal sehat atas cahaya kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dalam kegelapan itu orang hanya bisa menjadi mesin kepentingan dirinya sendiri (egoisme). Menumpuk harta, saling merendahkan, saling menjatuhkan, tak peduli pada sesama dan praktik-praktik keserigalaanpun menjadi akibatnya.

         Kedzoliman sejatinya terpicu dari sikap memberhalakan hawa nafsu. Para pengekor hawa nafsu yang nuraninya terbutakan bahkan sampai hati menerabas sekat-sekat persaudaraan ataupun kekeluargaan. Penderitaan sesama menjadi realitas yang memedihkan hati. Ironisnya hal itu justru diciptakan oleh sikap mengekor pada hawa nafsu baik secara personal, maupun sistemik-struktural. Maka, jangan mengaku orang saleh dan beriman jika di disekitarmu masih ada kedzoliman dan penderitaan. Disitulah kesalehan,keimanan dan agama dengan spiritualitasnya menjadi cahaya kolektif untuk menempuh proses transedental. Sebuah proses yang membebaskan manusia dari kefakiran material - spiritual sekaligus meninggikan nilai diri serta  eksistensinya. Dan akhirnya sebuah pertanyaan yang pantas kita renungi bersama.. Apakah selama ini kita sudah menjadi orang yang baik dan benar?

Penulis : Monsieur Mevrow
 



Menurut Cak Ali sekarang ini banyak sekali orang yang membuat tolak ukur kebahagiaan yang belum tentu membahagiakan dirinya. Contoh tolak ukur tersebut seperti mencari kekayaan materi sebanyak-banyaknya, menginginkan jabatan tertentu, mempunyai barang tertentu dan lain sebagainya, padahal hal ini jutru menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengerti hakikat kebahagiaan. Kebahagiaan tidak akan dapat ditemukan dengan memiliki hal semacam itu, materi hanya akan mengantarkan seseorang kepada kesenangan bukan kebahagiaan (baca : Paradoks Mevrow Part 2). 

Seseorang yang terjebak dalam paradigma bahagia itu materi pada umumnya memiliki tujuan-tujuan hidup perfect sehingga juga dapat dikatakan seorang yang perfeksionis. Tujuan hidup perfect akan diikuti ambisi atau nafsu yang terlampau besar untuk mendapatakannya. Ambisi atau nafsu yang terlampau besar  pada umumnya akan membutakan mata hati. Butanya mata hati akan menjadikan seseorang tanpa sadar mendzolimi diri sendiri, sosial  dan Allah. Dzolim terhadap diri sendiri, sosial dan Allah akan menyebabkan 2 hal yaitu gagalnya mencapai tujuan atau berhasil dengan keadaan yang menghinakan dirinya. Akhirnya apabila seseorang berhasil mencapai tujuan hidupnya akan tersadar bahwa kebahagiaan yang dia idamkan adalah semu dan kebahagiaan yang sesungguhnya tinggal kenangan baginya, sebab kebahagiaan sejati terletak pada proses bukan hasil atau pencapaian yang perfect.

Pada hakikatnya kebahagiaan bukanlah hasil atau pencapaian yang perfect, akan tetapi kebahagiaan merupakan proses. Proses inilah yang sering kali kita hiraukan sebab kita terlalu fokus untuk mencapai kebahagiaan semu. Kebahagiaan seperti analogi cerita seorang pujangga terkenal Kahlil Gibran, Kahlil menceritakan dalam suatu kisah terjadi dialog antara dia dan gurunya…

Pada suatu hari Kahlil Gibran berdialog dengan gurunya;
Gibran : "Wahai guru, bagaimana caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup ini?"

Sang guru merenung sejenak, lalu menjawab : "Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang paling indah... dan jangan pernah kembali kebelakang!"

kemudia Gibran lurus di taman bunga lalu sampai di ujung taman, Gibran kembali dengan tangan hampa. Lalu sang guru bertanya : "Mengapa kamu tidak mendapatkan bunga satu pun?"

kemudian Gibran menjawab : "Sebenarnya tadi aku sudah menemukannya, tapi tidak ku petik, karena aku pikir mungkin yang didepan pasti ada yang lebih indah, namun ketika aku sudah sampai di ujung, aku baru sadar bahwa yang aku lihat tadi adalah yang terindah, dan aku pun tak bisa kembali kebelakang lagi"

Sambil tersenyum sang guru berkata : "Ya... itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tak akan pernah mendapatkannya, karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak akan pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita untuk menerima kekurangan yang ada ..."
 Penulis : Monsieur  Mevrow