Mungkin anda pernah mendengar orang sering mengucapkan “kegagalan bukanlah pilihan”. Awalnya kalimat tersebut sekilas terdengar bijak, tetapi sadarkah anda bahwa kalimat tersebut justru akan menjadi bumerang?  Kalimat “kegagalan bukanlah pilihan”  bermakna seseorang haruslah selalu melakukan usaha yang terbaik untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Saya rasa tak ada salahnya untuk selalu memotivasi diri sendiri dalam meraih apa yang diinginkan. Akan tetapi, coba anda bayangkan manakala si pengucap kalimat tersebut  pada titik tertentu berada pada fase yang  rendah (gagal) dalam hidupnya, pasti akan merasakan kekecewaan yang teramat dalam bukan? Dan bahkan mungkin kehilangan semangat untuk bangkit lagi.

Orang yang mengambil prinsip “kegagalan bukanlah pilihan” secara tidak langsung cenderung membentengi diri dari kegagalan (defensive). Padahal kegagalan merupakan suatu pembelajaran penting yang lazim kita temui dalam perjalanan hidup orang-orang yang telah sukses dan kebiasaan orang-orang sukses adalah bangkit dari kegagalan.

Apakah anda pernah mendengar nama seperti Bill Gates, Mark Zuckenberg, Steve Jobs, Warren Buffet? Tentu nama tersebut tidak asing lagi di telinga kita. Lantas, apakah perjalan hidup mereka selalu mulus? Tentu tidak, mereka mengalami kegagalan demi kegagalan hingga akhirnya meraih kesuksesan. 

Dengan menyadari arti kegagalan berarti anda telah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pemenang. Sebab, tanpa mengenal kegagalan kita tidak akan pernah tahu dimana letak kesalahan yang kita perbuat. Umumnya orang yang terlalu defensif dengan kegagalan juga cenderung tidak berani mengambil keputusan-keputusan beresiko. Dan pada akhirnya akan melewatkan kesempatan-kesempatan yang mungkin merupakan pintu kesuksesan baginya.

Penulis : Adam Rifa’i



     Aku akan sedikit mencerikatan sepenggal cerita terbaikku. Sedih berjuta sedih, pada akhirnya perjalanan di“bengkel” dan “lumbung” ilmu ini harus berakhir. Menyisakan memori indah yang akan terus membekas sampai akhir hayat. Cerita yang terajut bak kain sutera yang halus nan indah. Alunan dawai kisah yang tak akan ada bosannya untuk terus diperdengarkan. Simfoni yang kan terus menari dalam relung-relung hati. Sepenggal episode yang mengisi hidup dan tak bisa ku ungkapkan kecuali dengan kata “wonderful”.. ah kata wonderful juga masih belum bisa menggambarkannya bagiku.        

     Rumah i
ni adalah tempat terbaik bagi engkau yang haus mengejar prestasi akademik,engkau yang tertarik prestasi non-akademik atau untuk engkau pula yang ingin memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik. Tempat ini serasa seperti “oase” di tengah padang gurun yang panas nan gersang. Engkau yang tak pernah meminum dari oase ini tentu akan mengatakan betapa anehnya rasa air disini. Engkau juga akan mengatakan betapa anehnya penghuni rumah ini, mungkin pula kan mengira seperti sekumpulan koloni alien yang berada pada satu tempat.. Aku katakan kalian semua salah kawan. 

     Aku katakan salah, sebab jikalau kalian sempat singgah di “bengkel” ini kalian akan mengerti siapa kalian dan apa tujuan hidup kalian. Apabila kalian rusak parah sekalipun “bengkel” ini akan siap menyambutmu dengan senyum para mekanik yang handal..ah aku yang bodoh ini sungguh telat mengerti. Tempat dimana tersesat dirasa begitu nikmat sebab engkau “tersesat di jalan yang benar”. Di “lumbung” ilmu ini engkau akan menemukan sahabat-sahabat terbaikmu yang berilmu lagi tulus  bersama-sama dalam meraih sukses dunia dan akhirat. Sungguh oase ini memberikan corak warna indah pada kehidupan setiap musafir yang pernah menyinggahinya tak terkecuali diriku.

       Qolbuku mengharu biru tatkala bunga mawar yang harum semerbak nan indah ini akhirnya layu dan pupus jua, pertanda si kumbang tak bisa lagi menghinggapinya. Sekarang hanya piringan hitam itulah yang bisa kubuka selembar demi selembar dengan sedikit bauran imaji dari kejauhan untuk menghilangkan dahaga sang musafir ini, dahaga tentang ketulusan, kebaikan, dan ilmu-ilmu kalian. Ah bodohnya aku.. kemana aku selama ini?.. ah bodohnya aku. Sekali-kali aku terbuai dalam lamunan “jikalau”, “seharusnya” dan “seandainya”, but time goes flies.                                                  

       Akupun sejenak merenungkan betapa berharganya mutiara-mutiara yang telah ku dapat. Mutiara itu adalah ilmu dan sahabat yang telah tulus memperbaiki seonggok besi karatan ini menjadi logam yang lebih bernilai. Hal yang bisa dilakukan manusia bodoh ini hanyalah sebisa mungkin menjaga serta mendoakan dalam setiap pinta agar mutiara-mutiara itu tidak hilang dan berusaha membersihkannya sebagaimana ketulusan uluran tangan mereka dahulu. Ah betapa bodohnya aku ini.. ah betapa bodohnya…                                                                                                                

Dear
Sahabat dan orang-orang yang menghiasi kisahku

Penulis : Monsieur Mevrow
15 / 7 / 2016


Degradasi kebaikan seakan telah menjadi suatu penyakit kronis yang sulit ditemukan obatnya. Kebaikan menjadi suatu komoditas yang langka untuk diperdagangkan. Nilai kebaikan menjadi sesuatu yang amat mahal dan sakral sehingga menarik para pendusta untuk mengklaim kebaikan semu yang berbalut kepalsuan. Kebaikan-kebaikan semu inilah yang sekarang menjadi sebuah realitas yang diterima oleh masyarakat awam.

 Pengalaman dan penghayatan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan moral kebaikan pelan-pelan mulai dilupakan. Ritus – ritus keagamaan yang seyogyanya menjadi jembatan  eksistensialnya manusia dalam kebaikan seakan  telah menjadi seremonial tanpa membuahkan ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah. Adanya ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah akan menjadikan manusia memiliki kesalehan ritual (Iman) dan kesalehan sosial (akhlak). Inilah kedahsyatan spiritualitas yang menggembleng manusia untuk menjadi asketis, memiliki ketajaman akal-budi,taat,dan takwa, sekaligus kesadaran untuk berempati, berbagi serta peduli atas sesama (the others).

Pencapaian transedental inilah yang layak dijadikan renungan secara kolektif sekaligus menjadi modal dasar atas praksis kehidupan. Sehingga kita tak hanya asyik dengan ritus melainkan juga bisa lulus untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran, kebaikan dan keindahan merupakan nilai-nilai yang selalu rentan untuk tenggelam atau ditenggelamkan dalam hiruk-pikuk kehidupan yang cenderung mengejar materi, kekuasaan dan kefanaan lainnya. Liberalisme, kuasa kapital dan konsumerisme yang mendominasi negeri ini, telah mendidik masyarakat untuk menjadi hedonis (pengejar kenikmatan duniawi) dengan jalan apapun, termasuk penyalahgunaan amanah. Ukuran nilai keutamaan pun bergeser dari akal sehat. Kebenaran tidak lagi didasarkan pada logika,hati nurani dan spiritualitas, melainkan pada kepentingan sesaat yang cenderung sesaat. Maka, tak heran jika yang menguat bukanlah kebenaran tetapi pembenaran.

Begitu juga dengan ukuran kebaikan, bukan lagi didasarkan pada kepantasan, kewajaran dan etika, melainkan pada keinginan dan kesenangan belaka. Akibatnya, Orang gagal menemukan kebaikan melainkan justru keburukan yang dipermak menjadi  (seolah-olah) kebaikan, orang mulai malas mengeksplorasi potensi-potensi dalam dirinya. Hakikat manusia sebagai homo estetikus telah mulai bergeser menjadi makhluk yang menyukai vulgarisme. Lihatlah perilaku masyarakat yang kini cenderung norak di dalam mengekspresikan diri maupun memperjuangkan agenda kepentingannya yang terkesan egois dan hanya mengekor pada hawa nafsu.

Tantangan terbesar dalam zaman yang menyembah pragmatism dan hedonism adalah bukan hanya menjadi orang baik (secara personal,ritual). Melainkan juga menjadi manusia yang memiliki integritas, komitmen, dedikasi,kapabilitas yang berasaskan spiritualitas (Illahiyah) dan berorientasi sosio-kultur untuk membangun nilai-nilai peradaban. Ke dalam diri kita, kita harus bersikap ‘secukupnya’ dalam soal pemilikan materi. Kita perlu mengenali batasan kepemilikan atas dasar kesadaran etik,moral dan norma. Bukan justru menjadi makhluk yang menyembah berhala materi. Problem manusia saat ini antara lain adalah pada hilangnya ‘rasa cukup’, ketulusan dan rendah hati, sehingga mereka ‘terbutakan’ dan saling berlomba-lomba untuk kemaruk, saling menjatuhkan serta saling merendahkan baik dalam soal materi, kekuasaan, intelektualitas maupun segala bentuk kenikmatan fana lainnya.

Hawa nafsu yang menodai spiritualitas (Illahiyah) termanifestasikan dalam sifat kemaruk, ketidak tulusan dan kesombongan. Sifat tersebut adalah kegelapan yang menabiri pandangan hati nurani, logika dan akal sehat atas cahaya kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dalam kegelapan itu orang hanya bisa menjadi mesin kepentingan dirinya sendiri (egoisme). Menumpuk harta, saling merendahkan, saling menjatuhkan, tak peduli pada sesama dan praktik-praktik keserigalaanpun menjadi akibatnya.

         Kedzoliman sejatinya terpicu dari sikap memberhalakan hawa nafsu. Para pengekor hawa nafsu yang nuraninya terbutakan bahkan sampai hati menerabas sekat-sekat persaudaraan ataupun kekeluargaan. Penderitaan sesama menjadi realitas yang memedihkan hati. Ironisnya hal itu justru diciptakan oleh sikap mengekor pada hawa nafsu baik secara personal, maupun sistemik-struktural. Maka, jangan mengaku orang saleh dan beriman jika di disekitarmu masih ada kedzoliman dan penderitaan. Disitulah kesalehan,keimanan dan agama dengan spiritualitasnya menjadi cahaya kolektif untuk menempuh proses transedental. Sebuah proses yang membebaskan manusia dari kefakiran material - spiritual sekaligus meninggikan nilai diri serta  eksistensinya. Dan akhirnya sebuah pertanyaan yang pantas kita renungi bersama.. Apakah selama ini kita sudah menjadi orang yang baik dan benar?

Penulis : Monsieur Mevrow
 

     Tak terasa masa bakti Mevrow tinggal 1 tahun lagi. Entah mengapa siang itu Mevrow sempatkan pulang untuk menemuiku. Di teras rumahku ini Mevrow menceritakan kehidupannya di negeri eden, dia mengatakan bahwa negeri itu sangatlah luar biasa, negeri itu merubah hidupnya. 

      “Di sana aku mengerti siapa diriku dam, aku sekarang lebih mengerti hakikat kehidupan,waktu,persahabatan,ketulusan,Tuhan,dan yang paling penting aku baru tau kalau kebahagiaan itu sebenarnya sederhana” ceritanya kepadaku. Selintas dalam pikirku jangan-jangan sohibku satu ini kembali minum Jhonny walker lagi. Ya wajar saja aku cemas, dia itu kan sahabatku.

        Aku bahagia sekali melihat perubahan demi perubahan pada diri sohibku ini. Aku jadi teringat kata-kata Cak Ali “Hidup itu memang berharga hingga terlalu berharga untuk disia-siakan walau sedetikpun untuk hal-hal yang tak berarti atau bahkan untuk hal-hal yang buruk”.

       Pelan-pelan aku merenungi maksud perkataan Mevrow tentang sederhananya sebuah kebahagiaan.

        "Apa benar bahagia itu sederhana?" tanyaku dalam hati..seharusnya ya,

     “sekarang orang mensyaratkan bahagia dengan materi (fisik),sehingga yang didapat hanyalah kesenangan,bukan kebahagiaan” cetus cak ali dalam memoriku.

        Banyak orang yang salah menilai antara kesenangan dan kebahagiaan. Menurut Mevrow kesenangan itu hanyalah sesaat (tidak bertahan lama) dan umumnya dipersyaratkan dengan materi (fisik) sedangkan kebahagiaan itu tanpa syarat atau dipersyaratkan dengan non materi (non fisik). Analogi simpelnya sih kesenangan itu ibarat ‘bungkus’ dan kebahagiaan adalah ‘isi’nya. Contohnya kekayaan itu isinya ketentraman, makan enak itu isinya gizi,energi dan kesehatan,  buku itu isinya pengetahuan, dunia itu isinya akhirat, kehidupan itu isinya kematian.

       Bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?,, beberapa hal yang dapat dilakukan seperti  Ikhlas, merasa cukup , rendah hati, dan yang paling penting yaitu bersyukur atas segala sesuatu yang digariskan Allah Azza wa Jalla.

        “Itu masih belum cukup, dam” cetus Mevrow, menurut Mevrow yang harus kita lakukan ketika ingin menjadi manusia yang bahagia adalah penghambaan kepada sang pencipta yaitu dengan jalan ketaatan dan ketakwaan.

         “Kok bisa gitu,Vrow?” tanyaku penasaran

      “logika sederhananya begini dam, ketika kita semakin mendekatkan diri kepada sang pencipta maka tingkat pengharapan kita untuk kesempatan baik menjadi lebih tinggi, pengharapan akan berbanding lurus dengan positive thinking yang mana menjadikan diri kita lebih bahagia dalam memandang setiap permasalahan hidup” Jawab Mevrow

         “Oalah gitu to Vrow, Jadi itu hidup bahagia itu ternyata sederhana ya” sahutku.

         Sekembalinya Mevrow dari rumahku, Aku sempatkan sore hariku untuk sedikit refreshing jalan-jalan keliling kampung. Ketika melewati lapangan sepakbola Aku melihat dek Sigmund sedang bermain petak umpet dengan teman-temannya. Aku melihat mereka berlarian,berkumpul, bermain dan tertawa bersama dengan riangnya, “ternyata bahagia itu sederhana” gumamku dalam benak.
  (Bersambung)



Cerita berlanjut di tengah masa bakti Mevrow.Hati Mevrow yang bertolak dengan keinginan si pemilik lebih memilih untuk berjalan ke kanan dan seketika itu paradoks Mevrowpun berakhir. Dia tiba-tiba bercerita kepadaku kalau perkataan Yu Djum,Dek Sigmud dan Cak Ali dulu itu salah kaprah. Seperti biasanya Mevrow bercerita bak ‘penyiar radio’ yang sedang on air. Akan tetapi,Aku menerawang ada perubahan besar pada diri Mevrow,entah apa. Aku masih ingat dalam benak, sebelum memasuki Negeri Eden Mevrow itu termasuk ‘orang yang bermasalah’, dulu dia memiliki gaya hidup yang buruk. Menurutku  Mevrow bahkan lebih buruk dari Iblis sekalipun yang masih mengamini bahwa dia diciptakan.

          Seiring berjalannya waktu aku sedikit lega melihat Mevrow telah berubah 100’ lebih baik. Entah mengapa  aku masih sedikit ‘pangling’ dengan keadaan Mevrow sekarang (1 tahun di negeri eden). Ah sudahlah daamm.. Allah itu maha membolak-balikkan hati manusia, orang buruk jadi baik itu biasa yang aneh orang baik jadi buruk. Aku melihat Mevrow sekarang dikelilingi oleh teman-teman baiknya makhluk setengah malaikat. Meskipun dalam masa baktinya, dia selalu menyempatkan diri untuk bersua denganku.

            “temanku satu ini memang sangat istimewa ” pikirku waktu itu.

         Ya memang menurutku pertemanan,persahabatan,persaudaraan dan entah apa nama selainnya itu sama saja, bagiku yang terpenting bukanlah ‘kemasan’ tetapi ‘isi’nya. Kata Mevrow yang sekarang mendadak jadi kayak ‘Ustadz’, 

           “persahabatan terbaik itu punya visi yang sama yaitu persahabatan yang berorientasi pada kebaikan, ibarat minyak itu nggak bakalan mau nyampur sama air”. Lanjut Mevrow 

           “nggak mungkin dam orang yang benar-benar baik kok sukanya dugem,atau orang yang kerjaannya mabuk kok langsung kamu ajak ke pengajian,,ya beratlah”. Aku sebenarnya  tidak terlalu peduli dengan ocehan ‘Ustadz Mevrow’,tapi beberapa saat aku pikir sepertinya ada benarnya juga perkataan sohibku ini. 

            Kegiatanku sore hari seperti biasa ngopi nasgithel di angkringannya pak Pri sambil cerita ngalor-ngidul nggak jelas.

          “Dam kamu tau berita yang lagi booming di dunia sebelah?” tanyanya sambil nyuci piring.

           Berita yang mana pak?” sahutku, 

            “Itu yang jadi viral,wartegnya sabeni”, 

            “Hah Sabeni?”, 

            “Iya sabeni”

            “Maksudnya Saeni ya pak?” tanyaku sambil terkekeh 

            “Oalah iya itu,,Saeni”.
 
           “ Itu menurutku cuman berita rekayasanya Kempes TV aja pak” balasku, 

             “Oalah gitu to,kok ya orang-orang sekarang bisa sejahat itu ya dam”

           “Ya namanya juga hamba nafsu pak, walaupun imannya tebel kalo ketemu yang namanya harta,tahta atau wanita juga goyah” selorohku sambil nyeruput kopi nasgithel yang sudah mulai mendingin.
(Bersambung)



Suatu sore yang tenang sayup-sayup dikejauhan aku melihat Mevrow sedang menggembalakan alpaca-alpacanya,Aku penasaran lalu menghampiri dia. Mevrow menyambutku dengan senyum lebar khasnya. Selama beberapa menit kami bercakap-cakap ringan sebagai intermezzo. Ditengah-tengah percakapan kami, Mevrow menyela pembicaraan “Dam kau dengar ndak tadi di kota Gomorrah ada berita menghebohkan” tanya Mevrow “Oh aku sudah dengar dari dek Sigmund, kok bisa ya nurani manusia berbuat seperti itu,vrow?”tanyaku balik. Mevrow lalu seperti biasanya menuturkan persoalan tersebut ala Socrates.

Menurut perspektif beliau ,kemaksiatan adalah salah buah dari sebuah bentuk keputusasaan yang didasarkan pada sikap pengingkaran pada kuasa illahi (Menyerah pada takdir). Pengingkaran ini disebabkan oleh penderitaan atau tekanan negatif yang hebat pada diri seseorang yang terjadi secara berulang-ulang (kontinyu) . “Iya juga ya ,vrow,Aku sering membaca kisah-kisah nabi dahulu juga sering terlihat putus asa” celetukku disela-sela “khotbah” Mevrow. “Bukan..bukan itu,dam,ini beda,nabi dahulu bukan putus asa tetapi tawakkal”, jawab Mevrow. Menurut pandangan Mevrow terdapat perbedaan antara putus asa dengan tawakkal (Berserah diri kepada Allah) . Orang yang berputus asa itu mengingkari kuasa illahi dalam mengatur kehidupan,sedangkan tawakkal itu sebaliknya. Jadi,Orang yang tawakkal akan berusaha keras dalam mengatasi permasalahan tanpa meninggalkan pengharapan kepada-Nya (Roja’a),sedangkan orang yang berputus asa itu sebaliknya. “Lalu apa dampak orang yang berputus asa,Vrow?”, sahutku.

Mevrow kembali menjelaskan bahwa keputusasaan dapat mendatangkan 2 hal keburukan. Dampak keputusasaan akan membuahkan Kesesatan atau kemaksiatan,atau bisa jadi keduanya. Kesesatan itu adalah maksiat dalam berpikir, sedangkan kemaksiatan biasanya berkaitan dengan fisik (Indrawi) . Kesesatan pada umumnnya meracuni level orang-orang yang berilmu .Kemaksiatan biasa menyerang orang-orang yang kekurangan ilmu atau malah melepas ilmu (menolak kebenaran) . Jadi,menurut kesimpulan perspektif Mevrow,bahwa keputusasaan dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesesatan dan kemaksiatan. “Ya kalau jadi orang beragama itu yang optimis ,pesimis itu miliknya orang atheis,,gitu dam” ,pungkas Mevrow. “Sungguh super sekali sahabatku satu ini”, sahutku sambil tertawa lepas bersama.

Penulis : Monsieur Mevrow