“Kebahagiaan semaksimal mungkin bagi mayoritas masyarakat”, tulis Jeremy Bentham (1748-1832), orang Inggris, “adalah fondasi moral dan leglasi”. Untuk mengatakan bahwa tindakan-tindakan itu seharusnya diarahkan untuk menghasilkan kebahagiaan: “Semua yang baik akan berakhir baik” (All’s well that ends well) adalah esensi dari utilitarianisme. Atau, dari sartu sudut pandang yang kritis, “Tujuan menghalalkan segala cara”.

Dalam kenyataannya, kaum utilitarian, seperti Bentham dan John Stuart Mill telah mempromosikan sejenis relativisme moral. Tindakan-tindakan, dalam pandangan mereka, tidak dapat divonis secara terpisah dari berbagai kondisi dan akibat. Seorang yang menganut moral absolut akan mengatakan bahwa tindak pembunuhan itu adalah salah, tak peduli apapun situasinya. Namun, seorang utilitarian, akan mengatakan bahwa pembunuhan itu benar jika menyediakan kebaikan yang lebih besar. Anggaplah Anda dapat membunuh Hitler, seorang utilitarian akan menjelaskan kepada Anda untuk melangkah maju, karena satu orang mati adalah lebih baik daripada banyak orang yang terbunuh.

Ketika dia menyamakan kebaikan dengan apa yang dapat membuat banyak orang menjadi sangat bahagia, utilitarianisme versi Bentham disebut “universal”. (Tidak semua utilitarian adalah universalis;beberapa pihak mengatakan bahwa apa yang baik bagi Anda, hanya Anda yang dapat memvonis demikian.) Satu masalah dengan pendekatakan Bentham adalah Anda tidak dapat selalu memastikan akibat-akibat yang membahagiakan, dan wacana tindakan terbaik mungkin hanya dapat dipahami setelah tindakan itu dilakukan. Anda boleh jadi bermaksud untuk menyenangkan setiap orang dengan memberikan kue coklat,tetapi ketika setiap orang sedang menjlankan diet makan atau punya penyakit alergi, maka Anda telah membuat mereka menjadi tidak bahagia. Apakah kami memvonis tindakan Anda sebagai “salah” meskipun niat Anda adalah untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak mungkin orang? Menurut kaum utilitarian, jawabannya adalah “ya”.

Satu kesulitan yang dapat ditimbulkan adalah tidak setiap orang bersikap setuju pada apa yang dimaksud dengan “kebaikan”. Standar Bentham adalah kebahagiaan, tetapi terdapat argumen-argumen persuasive yang bertentangan. Misalnya, banyak orang  akan mengatakan bahwa sikap rendah hati itu adalah baik, meskipun ia dapat menghasilkan penderitaan. Demikian pula, sikap tidak perhatian (ignorance) adalah membahagiakan, tetapi bukanlah ide dari setiap orang tentang apa itu baik atau bermanfaat. Barangkali, tidak bahagia sekarang adalah lebih baik jika hal itu berarti bahwa Anda akan menjadi lebih bahagia di masa depan. Akan tetapi, vonis-vonis seperti itu bergantung kepada berbagai akibat jangka panjang, dan orang mungkin akan berargumen di sekitar seberapa lama batasan periode waktu tersebut. Apakah baik, misalnya untuk melancarkan perang dagang terhadap china, dan dengan demikian menghukum para konsumen Amerika, jika akibat jangka panjangnya adalah situasi ekonomi Amerika yang lebih kuat? Mungkin saja, tetapi dalam waktu jangka panjang yang lebih lama lagi, keuntungan-keuntungan bisa saja lenyap, sementara antara kedua Negara masih terus berlanjut.

Bentham telah membuat beberapa rencana jangka panjang yang menarik, menurut versinya sendiri. Dia mewariskan perpustakaannya dan harta bendanya kepada University College di London, tempat dia mengajar filsafat. Hal yang tak terduga yang terjadi adalah bahwa jasad Bentham masih terus hadir dalam pertemuan-pertemuan di Fakultas. Tengkoraknya telah disangga dengan sangat baik dan sangat terjaga dan bahkan masih tetap dipertontonkan di balik kaca di College itu, meskipun bagian kepala Bentham telah diganti dengan kepala yang terbuat dari lilin. (Bagian kepala asli, yang sudah mulai membusuk, diletakkan di dalam sebuah kotak terbuat dari logam di bawah kaki.) Bentham masih terus mengikuti pertemuan-pertemuan, yang tidak diragukan lagi adalah seorang peserta yang lebih hidup.

Penulis : Michael Macrone


Degradasi kebaikan seakan telah menjadi suatu penyakit kronis yang sulit ditemukan obatnya. Kebaikan menjadi suatu komoditas yang langka untuk diperdagangkan. Nilai kebaikan menjadi sesuatu yang amat mahal dan sakral sehingga menarik para pendusta untuk mengklaim kebaikan semu yang berbalut kepalsuan. Kebaikan-kebaikan semu inilah yang sekarang menjadi sebuah realitas yang diterima oleh masyarakat awam.

 Pengalaman dan penghayatan nilai-nilai spiritual yang menjadi landasan moral kebaikan pelan-pelan mulai dilupakan. Ritus – ritus keagamaan yang seyogyanya menjadi jembatan  eksistensialnya manusia dalam kebaikan seakan  telah menjadi seremonial tanpa membuahkan ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah. Adanya ketaatan dan ketakwaan Ilahiyah akan menjadikan manusia memiliki kesalehan ritual (Iman) dan kesalehan sosial (akhlak). Inilah kedahsyatan spiritualitas yang menggembleng manusia untuk menjadi asketis, memiliki ketajaman akal-budi,taat,dan takwa, sekaligus kesadaran untuk berempati, berbagi serta peduli atas sesama (the others).

Pencapaian transedental inilah yang layak dijadikan renungan secara kolektif sekaligus menjadi modal dasar atas praksis kehidupan. Sehingga kita tak hanya asyik dengan ritus melainkan juga bisa lulus untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran, kebaikan dan keindahan merupakan nilai-nilai yang selalu rentan untuk tenggelam atau ditenggelamkan dalam hiruk-pikuk kehidupan yang cenderung mengejar materi, kekuasaan dan kefanaan lainnya. Liberalisme, kuasa kapital dan konsumerisme yang mendominasi negeri ini, telah mendidik masyarakat untuk menjadi hedonis (pengejar kenikmatan duniawi) dengan jalan apapun, termasuk penyalahgunaan amanah. Ukuran nilai keutamaan pun bergeser dari akal sehat. Kebenaran tidak lagi didasarkan pada logika,hati nurani dan spiritualitas, melainkan pada kepentingan sesaat yang cenderung sesaat. Maka, tak heran jika yang menguat bukanlah kebenaran tetapi pembenaran.

Begitu juga dengan ukuran kebaikan, bukan lagi didasarkan pada kepantasan, kewajaran dan etika, melainkan pada keinginan dan kesenangan belaka. Akibatnya, Orang gagal menemukan kebaikan melainkan justru keburukan yang dipermak menjadi  (seolah-olah) kebaikan, orang mulai malas mengeksplorasi potensi-potensi dalam dirinya. Hakikat manusia sebagai homo estetikus telah mulai bergeser menjadi makhluk yang menyukai vulgarisme. Lihatlah perilaku masyarakat yang kini cenderung norak di dalam mengekspresikan diri maupun memperjuangkan agenda kepentingannya yang terkesan egois dan hanya mengekor pada hawa nafsu.

Tantangan terbesar dalam zaman yang menyembah pragmatism dan hedonism adalah bukan hanya menjadi orang baik (secara personal,ritual). Melainkan juga menjadi manusia yang memiliki integritas, komitmen, dedikasi,kapabilitas yang berasaskan spiritualitas (Illahiyah) dan berorientasi sosio-kultur untuk membangun nilai-nilai peradaban. Ke dalam diri kita, kita harus bersikap ‘secukupnya’ dalam soal pemilikan materi. Kita perlu mengenali batasan kepemilikan atas dasar kesadaran etik,moral dan norma. Bukan justru menjadi makhluk yang menyembah berhala materi. Problem manusia saat ini antara lain adalah pada hilangnya ‘rasa cukup’, ketulusan dan rendah hati, sehingga mereka ‘terbutakan’ dan saling berlomba-lomba untuk kemaruk, saling menjatuhkan serta saling merendahkan baik dalam soal materi, kekuasaan, intelektualitas maupun segala bentuk kenikmatan fana lainnya.

Hawa nafsu yang menodai spiritualitas (Illahiyah) termanifestasikan dalam sifat kemaruk, ketidak tulusan dan kesombongan. Sifat tersebut adalah kegelapan yang menabiri pandangan hati nurani, logika dan akal sehat atas cahaya kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dalam kegelapan itu orang hanya bisa menjadi mesin kepentingan dirinya sendiri (egoisme). Menumpuk harta, saling merendahkan, saling menjatuhkan, tak peduli pada sesama dan praktik-praktik keserigalaanpun menjadi akibatnya.

         Kedzoliman sejatinya terpicu dari sikap memberhalakan hawa nafsu. Para pengekor hawa nafsu yang nuraninya terbutakan bahkan sampai hati menerabas sekat-sekat persaudaraan ataupun kekeluargaan. Penderitaan sesama menjadi realitas yang memedihkan hati. Ironisnya hal itu justru diciptakan oleh sikap mengekor pada hawa nafsu baik secara personal, maupun sistemik-struktural. Maka, jangan mengaku orang saleh dan beriman jika di disekitarmu masih ada kedzoliman dan penderitaan. Disitulah kesalehan,keimanan dan agama dengan spiritualitasnya menjadi cahaya kolektif untuk menempuh proses transedental. Sebuah proses yang membebaskan manusia dari kefakiran material - spiritual sekaligus meninggikan nilai diri serta  eksistensinya. Dan akhirnya sebuah pertanyaan yang pantas kita renungi bersama.. Apakah selama ini kita sudah menjadi orang yang baik dan benar?

Penulis : Monsieur Mevrow
 



Menurut Cak Ali sekarang ini banyak sekali orang yang membuat tolak ukur kebahagiaan yang belum tentu membahagiakan dirinya. Contoh tolak ukur tersebut seperti mencari kekayaan materi sebanyak-banyaknya, menginginkan jabatan tertentu, mempunyai barang tertentu dan lain sebagainya, padahal hal ini jutru menunjukkan bahwa orang tersebut tidak mengerti hakikat kebahagiaan. Kebahagiaan tidak akan dapat ditemukan dengan memiliki hal semacam itu, materi hanya akan mengantarkan seseorang kepada kesenangan bukan kebahagiaan (baca : Paradoks Mevrow Part 2). 

Seseorang yang terjebak dalam paradigma bahagia itu materi pada umumnya memiliki tujuan-tujuan hidup perfect sehingga juga dapat dikatakan seorang yang perfeksionis. Tujuan hidup perfect akan diikuti ambisi atau nafsu yang terlampau besar untuk mendapatakannya. Ambisi atau nafsu yang terlampau besar  pada umumnya akan membutakan mata hati. Butanya mata hati akan menjadikan seseorang tanpa sadar mendzolimi diri sendiri, sosial  dan Allah. Dzolim terhadap diri sendiri, sosial dan Allah akan menyebabkan 2 hal yaitu gagalnya mencapai tujuan atau berhasil dengan keadaan yang menghinakan dirinya. Akhirnya apabila seseorang berhasil mencapai tujuan hidupnya akan tersadar bahwa kebahagiaan yang dia idamkan adalah semu dan kebahagiaan yang sesungguhnya tinggal kenangan baginya, sebab kebahagiaan sejati terletak pada proses bukan hasil atau pencapaian yang perfect.

Pada hakikatnya kebahagiaan bukanlah hasil atau pencapaian yang perfect, akan tetapi kebahagiaan merupakan proses. Proses inilah yang sering kali kita hiraukan sebab kita terlalu fokus untuk mencapai kebahagiaan semu. Kebahagiaan seperti analogi cerita seorang pujangga terkenal Kahlil Gibran, Kahlil menceritakan dalam suatu kisah terjadi dialog antara dia dan gurunya…

Pada suatu hari Kahlil Gibran berdialog dengan gurunya;
Gibran : "Wahai guru, bagaimana caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup ini?"

Sang guru merenung sejenak, lalu menjawab : "Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang paling indah... dan jangan pernah kembali kebelakang!"

kemudia Gibran lurus di taman bunga lalu sampai di ujung taman, Gibran kembali dengan tangan hampa. Lalu sang guru bertanya : "Mengapa kamu tidak mendapatkan bunga satu pun?"

kemudian Gibran menjawab : "Sebenarnya tadi aku sudah menemukannya, tapi tidak ku petik, karena aku pikir mungkin yang didepan pasti ada yang lebih indah, namun ketika aku sudah sampai di ujung, aku baru sadar bahwa yang aku lihat tadi adalah yang terindah, dan aku pun tak bisa kembali kebelakang lagi"

Sambil tersenyum sang guru berkata : "Ya... itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tak akan pernah mendapatkannya, karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak akan pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita untuk menerima kekurangan yang ada ..."
 Penulis : Monsieur  Mevrow



Sains dan agama mewakili dua sistem besar pemikiran manusia. Bagi kebanyakan orang, agama memberikan pengaruh yang dominan terhadap perilaku kehidupan mereka. Ketika sains berdampingan dengan kehidupan mereka, ia berhimpitan tidak pada pada tingkat intelektual, namun secara praktis, melalui teknologi. Terlepas dari pemikiran religius dalam kehidupan sehari-hari khalayak publik, sebagian besar institusi kita secara pragmatis diatur dengan agama, lantaran ia terlibat dalam segala urusan.


Dalam dunia industry dan teknologi , di mana pengaruh dan keberhasilan sains sangat mencolok, terdapat suatu kemerosotan tajam dalam berafiliasi dengan institusi-institusi penting keagamaan . setiap saintis akan memverifikasi bahwa, jika agama telah hilang dari kesadaran manusia, maka agama itu pasti akan digantikan oleh pemikiran saintifik rasional. Karena sains, terlepas dari pengaruhnya yang sangat luas terhadap kehidupan kita pada tingkat praktis, sulit dipahami dan tak dapat diakses oleh khalayak publik. Yang lebih relevan dengan kemerosotan sikap religious  ialah fakta bahwa sains, melalui teknologi, telah mengubah kehidupan kita bagitu radikal sehingga agama-agama tradisional mungkin terlihat tidak memiliki sikap cekatan yang diperlukan untuk memberikan bantuan yang nyata dalam mengatasi persoalan-persoalan personal dan sosial kontemporer. Hal itu bukan karena sains akhirnya telah memenangkan pertarungannya yang telah berlangsung lama dengan agama, tetapi karena ia telah me-reorientasikan masyarakat kita begitu radikal sehingga perspektif Kitab-Kitab Suci tentang dunia sekarang tampak sangat tidak relevan.


Agama-agama besar dunia, yang didasarkan pada kebijaksanaan dan dogma yang telah diterima, berakar di masa lalu dan tidak gampang mengatasi zaman yang terus berubah. Fleksibilitas yang diungkap dengan tergesa-gesa telah memungkinkan agama  untuk menggabungkan beberapa aspek baru dari pemikiran modern. Akibatnya, banyak orang beriman yang kecewa yang kemudian berpaling ke agama-agama ‘pinggiran’ yang tampaknya lebih selaras dengan era Perang Bintang dan microchips. Peningkatan besar popuaritas kultus yang dikaitkan dengan UFO, ESP, kontak-kontak spirit, Scientology, meditasi transedental dan kepercayaan yang didasarkan pada teknologi lainnya membuktikan daya tarik keyakinan dan dogma agama yang terus berlanjut dalam masyarakat rasional dan saintifik secara superfisial. Meskipun gagasan-gagasan sinting ini memiliki landasan ilmiah, gagasan-gagasan tersebut tanpa rasa malu sangat tidak rasional, meminjam istilah Christopher Evans (1974): “kultus-kultus yang tidak masuk akal”. Masyarakat berpaling ke kultus-kultus tersebut bukan demi pencerahan intelektual, melainkan demi ketenangan spiritual dalam sebuah dunia yang keras dan tak menentu. Jadi, sains telah menyerbu kehidupan, bahasa dan agama kita, tetapi tidak pada tingkat intelektual.


Baik sains maupun agama memiliki dua wajah: intelektual dan sosial. Dalam kedua kasus tersebut, dampak sosial lebih banyak dikehendaki. Sains dapat meringankan kesengsaraan penyakit dan untuk hiburan dan kesenangan kita, tetapi ia juga menimbulkan senjata-senjata pemusnah massal yang menakutkan dan secara serius memerosokkan taraf kehidupan.


Selama ini  bagian terbesar dari sejarah manusia, laki-laki dan perempuan berpaling ke agama bukan hanya demi petunjuk moral, tetapi juga demi jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaan fundamental tentang eksistensi. Bagaimana alam semesta tercipta dan bagaimana ia akan berakhir? Bagaimana asal-muasal kehidupan dan umat manusia? Hanya dalam beberapa abad terakhir sains mulai memberikan kontribusinya terhadap masalah-masalah semacam itu. Benturan-benturan yang ditimbulkannya telah terdokumentasikan dengan baik. Mulai dari awal di tangan Galileo, Copernicus dan Newton, kemudian Darwin dan Einstein, hingga era komputer dan teknologi tinggi, sains modern telah memberikan pandangan yang dingin dan kadangkala mengancam banyak kepercayaan agama yang sudah berurat-akar. Karena itu, muncullah perasaan bahwa sains dan agama tidak dapat didamaikan dan saling bertentangan.