Teori yang paling tepat mengenai asal mula kemunculan air di Bumi sampai saat ini masih menjadi tanda tanya di kalangan ilmuwan. Namun, ada beberapa teori yang paling menonjol.

I. Teori Pendinginan Bumi
Yang pertama yakni teori yang berhubungan dengan pendinginan Bumi. Diperkirakan bahwa awal pembentukan air di Bumi berlangsung dua milyar tahun yang lalu, saat Bumi mulai mengalami pendinginan. Bumi berawal dari gas yang kemudian memadat dan mengeras seiring pendinginannya. Proses pendinginan ini terjadi secara bertahap, mengakibatkan Bumi diselimuti oleh lapisan awan yang mengandung air. Saat temperatur permukaan Bumi masih sangat tinggi, tetesan air yang jatuh akan dikembalikan lagi menjadi uap air. Proses ini membuat tidak ada sinar matahari yang mencapai permukaan Bumi. Bumi kemudian mendingin sehingga uap air dapat turun sebagai hujan. Hujan ini terjadi terus-menerus, lalu mengisi cekungan-cekungan dan tempat berelief rendah di permukaan Bumi sehingga menjadi lautan. Namun banyak ilmuwan mengatakan bahwa air yang dihasilkan dari pendinginan ini kuantitasnya tidak akan mencukupi untuk pembentukan samudra pertama.

II. Teori Panas Bumi
Teori selanjutnya menyatakan bahwa pada awal terbentuknya sistem tata surya, daerah sekitar posisi Bumi masih terlalu panas untuk bisa memungkinkan terbentuknya molekul air. Tetapi pada jarak matahari ke Bumi, oksigen sudah dapat mengalami pengembunan dengan banyak unsur lain, contohnya bersenyawa membentuk oksida besi. Senyawa kaya hidrogen seperti serpentin juga sudah dapat terbentuk. Dengan demikian, Bumi muda pada waktu itu sudah mengandung atom O dan H tetapi terkunci di dalam senyawa lainnya. Bumi yang pada saat itu sangat panas, mengakibatkan banyak gas yang terlepas dari permukaannya. Bagian-bagian dari planet Bumi pun meleleh, memanaskan batuan hingga menguap, dan menyebabkan atmosfer yang tersusun atas gas mulai terbentuk. Temperatur dan tekanan di atmosfer memungkinkan atom O dan H untuk berikatan, membentuk senyawa yang kita kenal sebagai air.

III. Teori Serbuk Antariksa
Teori lainnya dikeluarkan pada tahun 2010 oleh Dr. Mike Drake dari Universitas Arizona, AS, yang divalidasi oleh tim Profesor Nora de Leeuw dari UCL Chemistry. Drake menyatakan bahwa air sudah ada di permukaan serbuk antariksa saat mereka mulai membentuk planet Bumi. Hal ini dapat terjadi jika adhesi—gaya tarik-menarik antar molekul yang tidak sejenis—antara air dengan serbuk tersebut cukup kuat sehingga memungkinkan untuk bertahan pada kondisi yang ekstrem pada awan serbuk antariksa tempat planet mulai terbentuk. Sebuah simulasi komputer pun dijalankan, dan memberi hasil bahwa adhesi yang dihasilkan antara air dengan mineral yang lazim ditemukan di awan serbuk antariksa—contohnya olivin—memang cocok untuk penyimpanan air selama kondisi suhu dan tekanan ekstrem tersebut.
Melalui hal tersebut, sebuah hipotesis yang sangat kuat pun muncul, yakni bahwa air telah ada saat kelahiran planet Bumi dan keberadaannya bukan sebagai pendatang baru setelah planet Bumi terbentuk.

IV. Teori Meteorit Karbon Kondritik
Teori selanjutnya berhubungan dengan meteorit karbon kondritik. Meteorit yang sangat primitif ini telah lama dipelajari oleh ilmuwan sebagai sumber dari unsur-unsur volatil yang terdapat di Bumi muda, misalnya hidrogen, nitrogen, carbon, dan mungkin material-material organik. Pemahaman tentang sumber unsur-unsur ini dapat membantu manusia memperkirakan asal mula air dan juga kehidupan di Bumi. Oleh karena itu sebuah penelitian diadakan oleh Conel Alexander dari Carnegie yang berfokus pada air beku yang terdistribusi di sistem tata surya awal. Bukti keberadaan es tersebut terdapat pada objek seperti komet dan meteorik karbon kondritik. Penemuan tim Alexander menyatakan bahwa meteorit dan asteroid induknya adalah sumber air yang paling memungkinkan. Pendapat mereka ini diterbitkan pada tanggal 12 Juli 2012 di media Science Express.  
Dengan mengetahui perbandingan dari hidrogen dengan isotop beratnya yakni deuterium di dalam air normal yang membeku, ilmuwan dapat memprediksi jarak relatif dari matahari ke objek yang mengandung air tersebut. Berdasarkan sains, objek yang terbentuk lebih jauh dari matahari seharusnya memiliki kandungan deuterium yang lebih tinggi dalam esnya, dan objek yang terbentuk di wilayah yang sama seharusnya memiliki isotop hydrogen yang mirip. Sebelum itu, telah muncul perkiraan bahwa komet dan karbon kondritik terbentuk di luar orbit Jupiter, bahkan mungkin di tepian sistem tata surya, lalu berpindah ke dalam sehingga membawa unsur volatil dan material organik ke Bumi. Namun tim Alexander telah menganalisis 85 sampel karbon kondritik dan menunjukkan bahwa kandungan deuterium pada karbon kondritik lebih rendah dari komet, sehingga kemungkinan dua benda tersebut tidak terbentuk di wilayah yang sama. Mereka mengusulkan bahwa karbon kondritik terbentuk di sabuk asteroid yang terletak di antara orbit Mars dan Jupiter. Mereka juga mengusulkan bahwa sebagian besar unsur volatil di Bumi datang dari berbagai kondrit, bukan komet.

V. Teori Hantaman Komet
Teori ini berhubungan dengan komet dan hantaman besar. Di pinggiran tata surya, air dalam bentuk es tersimpan dalam jumlah melimpah pada kometisimal-kometisimal yang menghuni awan komet Opik-Oort maupun sabuk Kuiper-Edgeworth. Jika air berasal dari daerah tersebut, mekanisme yang paling memungkinkan agar air dapat terangkut dari daerah tersebut ke daerah planet-planet terestrial khususnya Bumi adalah melalui tumbukan oleh benda langit. Contohnya, komet.
Tabrakan ini akan menghasilkan pelepasan energi dalam jumlah sangat besar yang ditandai dengan adanya bola api bersuhu sangat tinggi. Namun distribusi suhu pada tabrakan ini tidaklah homogen sehingga tidak seluruh air akan terurai menjadi H dan O, malah hanya sebagian kecil. Sisanya tetap berupa air meskipun wujudnya uap. Jejak kawah di Bulan juga menunjukkan bahwa Bumi pernah mengalami tabrakan hebat dengan komet yang dikenal sebagai periode Hantaman Besar, yang terjadi sekitar 4,2-3,8 milyar tahun yang lalu.
Beberapa komet yang telah diobservasi menunjukkan bahwa sidik jari air yang terkandung dari es di dalamnya berbeda dengan sidik jari air di Bumi. Sidik jari bagi air adalah rasio antara air berat atau D2O—yakni molekul senyawa yang identik dengan air namun atom H-nya digantikan oleh atom D—dengan air normal atau air ringan—yakni H2O biasa. Pada air di Bumi, terdapat 1.558 atom D dalam tiap 10juta atom O. Sedangkan rasio pada komet-komet yang berasal dari awan komet Opik-Oort berbeda jauh dengan rasio tersebut sehingga diyakini bahwa air di Bumi tidak berasal dari sana.
Sidik jari air Bumi justru lebih mirip dengan sidik jari air di meteorit karbon kondritik. Meteorit ini merupakan pecahan asteroid yang berjarak 450juta km dari matahari. Namun air pada tata surya purba berada pada jarak 600-700juta km dari matahari, sehingga pada jarak asteroid tadi jumlah air sedikit dan tidak akan mencukupi suplai ke Bumi.
Pencerahan datang dari observasi terhadap komet Hartley 2. Komet ini membawa es yang sidik jari airnya nyaris identik dengan sidik jari air di Bumi, yakni 1.610 atom D per 10juta atom H. Komet ini juga berasal dari sabuk Kuiper-Edgeworth, sehingga untuk sementara dapat disimpulkan bahwa air dari Bumi disuplai dari kawasan ini. Pada waktu itu Bumi diperkirakan mendapat sedikitnya 70 trilyun ton suplai air, jumlah yang mencukupi untuk pembentukan samudra pertama.

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar