Layaknya air, tanah juga sumber kehidupan. Tanpa tanah, tiadalah tempat makhluk berpijak. Di atas tanah manusia mendirikan bangunan rumah sebagai tempat tinggal. Di tanah manusia bercocok tanam; padi, sayur-sayuran, buah-buahan, yang semuanya di konsumsi manusia. Tanah menyuburkan tanaman. Manusia dan tanaman bergantung pada tanah.

Di tanah juga ditemukan bermacam barang tambang; emas, perak, biji besi, batu bara, gas, minyak bumi, dan lainnya. Segala macam yang dikeluarkan tanah memberi manfaat bagi manusia. Tak hanya tumbuh-tumbuhan, bermacam hewan pun hidup di dalam tanah. Cacing tanah misalnya, meski tanpa panca indra yang sempurna namun ia leluasa hidup di dalam tanah. Sebab di sanalah habitatnya. Begitupun semut dan sejumlah hewan lainnya yang berkembang biak dan bergantung hidup pada tanah.

Meski memberi manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, tanah juga kadang membawa bencana. Tanah longsor misalnya. Maka manusia dilarang tinggal di pinggir tebing, di kaki bukit yang rawan, maupun di tanah-tanah ketinggian yang berpotensi terjadinya longsor. Di kota-kota besar yang juga terdapat perbukitan, tidak jarang manusia membangun rumah di sana. Itu mereka lakukan karena lahan di perkotaan semakin menyempit akibat padatnya pembangunan sehingga sebagian manusia yang kurang beruntung harus membangun peradaban di daerah pinggiran, khususnya di perbukitan itu. Bukit-bukit yang seharusnya tumbuh subur pepohonan, malah pohon ditebang dan kawasan itu dijadikan lahan pemukiman. Ketika hujan turun terjadilah banjir dan tanah longsor karena air tidak lagi diserap oleh tanah dan akar tumbuh-tumbuhan.

Akibat tanah longsor itu tidak sedikit korban jiwa manusia direnggutnya. Tanah longsor pun merusak rumah-rumah yang dibangun manusia. Tapi itu terjadi akibat kesalahan manusia sendiri karena tidak lagi menjaga keseimbangan alam. Tanah yang seharusnya menjadi sumber kesuburan malah menjadi sumber malapetaka. 

Hakikatnya, tanah diciptakan Tuhan adalah untuk menghidupkan dan menyuburkan. Bahkan menurut kitab suci asal mula manusia diciptakan dari tanah yang ditiupkan roh kepadanya. Malaikat yang diciptakan Tuhan dari cahaya hormat kepada manusia (Adam a.s), sementara Iblis yang diciptakan dari api mengingkari kemuliaan Adam dan mendurhakai Tuhan.

Besarnya manfaat tanah bagi kehidupan manusia itu, membuat manusia berlomba-lomba mendapatkan tanah sebagai sumber kehidupannya. Sejak dahulu, secara turun-temurun, manusia mewariskan tanah dengan luas tertentu kepada anak keturunan mereka. Tanah itu bisa berupa lahan pertanian, perkebunan, hutan, maupun lahan yang di atasnya berdiri rumah keluarga. Di Minangkabau, dikenal tanah ulayat yang dimiliki oleh kaum tertentu dan tidak sembarang orang bisa memperjualbelikannya.

Meski tanah banyak memberi manfaat bagi manusia, namun tidak sedikit gara-gara tanah orang saling bunuh membunuh. Sedikit saja batas tanah yang disengketakan diganggu, alamat golok atau bedil bicara. Berbagai kasus sengketa tanah di pengadilan juga terbilang tinggi. Berita-berita terkait kasus itupun nyaris setiap waktu menghiasi media cetak dan elektronik.

Berkaitan dengan tanah ini, saya teringat cerita yang ditulis Tolstoy, penulis asal Rusia, yang mempertanyakan berapa luaskah tanah yang dibutuhkan seseorang? Diceritakan bahwa ada seorang petani tamak yang tidak pernah puas dengan tanah yang dimilikinya. Dia selalu merasa kurang. Suatu hari si petani ini bertemu sekelompok orang yang mau menjual murah tanahnya seluas apapun yang diinginkan petani. Namun demikian ada syaratnya, petani ini harus berjalan mengitari tanah yang dia mau, dari pagi hingga petang dan harus kembali ke titik awal sebelum matahari tenggelam. Didesak oleh hasrat ketamakannya itu si petani setuju untuk membeli tanah luas sejauh matanya memandang dengan cara berlari dari pagi hingga petang. Dia terus berlari tanpa kenal lelah untuk mendapatkan tanah yang dia inginkan. Batu sandungan, onak dan duri yang menyentuh kakinya tidak dia pedulikan. Hingga menjelang petang, petani inipun sampai ke titik awal dia berjalan dan tanah yang luas itu pun menjadi miliknya.

Namun naasnya, karena kelelahan dan sekujur tubuh penuh luka, petani itu akhirnya meninggal dunia setelah semua tanah itu dia dapatkan. Orang ramai yang melihat perjuangan si petani menundukkan kepala dan menurunkan topi sembari bergumam, “Seluas apapun tanah yang dicari manusia namun hanya sepanjang tubuh saja yang ia butuhkan”. Begitulah, manusia diciptakan dari tanah dan kembali kepada tanah.

0 komentar:

Posting Komentar